“The world’s most valuable is no longer oil, but data”
Media ekonomi terkemuka dunia, The Economist, pada 6 Mei 2017 menerbitkan laporan dengan tajuk seperti dikutip di awal tulisan ini. Dalam laporan itu, The Economist menulis tentang bagaimana perusahaan yang mengumpulkan data tumbuh menjadi raksasa dunia, mengalahkan perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan. Hal itu membawa mereka pada kesimpulan bahwa “yang paling berharga di dunia bukan lagi minyak, melainkan data.”
Beberapa dekade lalu, dunia memiliki persepsi bahwa masa depan manusia sangat tergantung pada cadangan minyak, dan beberapa negara rela berperang memperebutkan sumber minyak. Kini, persepsi tersebut sudah berubah dengan memandang bahwa data-lah sebagai masa depan. Tidak perlu argumentasi canggih untuk memahami fenomena ini, cukup pantau saja laporan Forbes yang rutin merilis data orang terkaya di dunia. Hasilnya, sejumlah pemimpin perusahaan teknologi yang selama ini bergerak mengumpulkan data di dunia maya nangkring di peringkat atas orang terkaya di dunia.
Data adalah ‘minyak’ di era digital. Perusahaan yang menangani ‘minyak digital’ seperti Alphabet (induk perusahaan Google), Meta (induk Faceebook), Amazon, Apple, dan Microsoft, tumbuh begitu pesat dan lajunya seakan tidak terbendung. Diakui atau tidak, kini perusahaan-perusahaan inilah yang menggenggam dan mengelola informasi banyak orang.
Data adalah koentji
Seperti sudah kita singgung di atas, data adalah sumber daya paling berguna di dunia saat ini. Beberapa negara bahkan memandang perlindungan data pribadi sangat amat penting. Pembocoran dan kebocoran data adalah aib yang menampar kedaulatan negeri. Sejumlah upaya dilakukan untuk melindungi data pribadi termasuk dengan merancang undang-undang yang menjamin keamanan data diri warga negara.
Ketika seorang hacker, Bjorka, membocorkan data pribadi sejumlah pejabat tinggi negara, beberapa anggota parlemen kita langsung bersuara akan pentingnya Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Menurut mereka, penyelesaian UU PDP ini dapat mencegaha aksi serangan siber seperti yang dilakukan Bjorka di masa depan. Baru kali ini, para pejabat kita dibuat kelabakan.
Dalam hal ini, kita sebenarnya tidak sendirian. Amerika Serikat yang kerap memosisikan dirinya sebagai polisi dunia, pernah ketar-ketir ketika Wikileaks-nya Julian Assange dan juga Edward Snowden membongkar dan membocorkan data tentang praktik tidak bermoral yang dilakukan lembaga intelijennya di luar negeri. Dunia gempar dan Amerika meradang karena menanggung malu. Soalnya, pencurian data dan informasi (terutama dari negara sahabat) bukan tindakan yang bisa dimaafkan hanya dengan permintaan maaf. Pencurian data ini terkait dengan keamanan nasional dan penerobosan firewall sebuah negara, dan itu bukanlah sebuah pelanggaran ringan.
Soal pentingnya data itu juga disadari betul oleh perusahaan seperti Google, Facebook, Apple, Microsoft dan Amazon. Data yang mereka kumpulkan menjadi modal penting dalam meningkatkan pendapatan perusahaan. Perusahaan-perusahaan teknologi ini bisa mengumpulkan keuntungan lebih dari $25 miliar karena keseriusan mereka menghimpun dan mengelola data. Kesuksesan itu diyakini tidak terlepas dari model bisnis yang mereka lakukan dengan cara mengumpulkan data pengguna sebanyak mungkin di dunia maya.
Di era digital saat ini, kita tidak perlu heran jika Google dapat melihat dengan detil apa yang dicari seorang pengguna internet; Facebook mengetahui apa yang dibagikan penggunanya dan dengan siapa mereka saling berinteraksi; dan Amazon pun bisa mendata dengan akurat buku apa yang dibeli seorang pengguna internet. Data adalah koentji!
Elon Musk, sosok jenius teknologi yang sangat visioner saat ini, tetap memandang data sebagai modal maha-penting: Musk yang berambisi membawa manusia berpetualang di bulan secara serius mengumpulkan sebanyak mungkin data dan informasi dalam mengembangkan Tesla, sebuah proyek mobil yang bisa mengemudikan dirinya sendiri. Semakin banyak dan lengkap data didapat, semakin akurat mobil itu mengantarkan penumpangnya tiba di tujuan.
Perlindungan dari Kejahatan Siber
Menyimak betapa mudahnya data seseorang diretas dan dibocorkan, mau tidak mau, kita perlu lebih meningkatkan kewaspadaan diri dalam menjaga data pribadi dan melindungi diri dari kejahatan siber. Tidak ada yang lebih bertanggung-jawab terhadap keamanan data pribadi kita selain kita sendiri.
Salah satu cara agar terlindungi dari korban kejahatan siber adalah dengan memperkuat literasi digital. Kita perlu mengetahui lebih mendalam apa saja jenis-jenis kejahatan siber, terutama di dunia perbankan. Ada banyak sumber informasi yang bisa kita manfaatkan, salah satunya dari website nasabahbijak.id.
Kita semua perlu menjadi penyuluh digital dan perlu belajar literasi digital, terutama terkait dunia perbankan. Membentengi diri dengan pemahaman yang lebih baik tentang ancaman di dunia siber akan menjauhkan kita dari menjadi korban. Apalagi, penipuan di dunia perbankan, paling sering terjadi, seringkali karena kita abai terhadap perlindungan data pribadi.
Setidaknya ada 5 jenis kejahatan perbankan berbasis digital yang paling sering terjadi dan mengintai calon korban setiap saat. Kejahatan ini yaitu:
1. Skimming yaitu menggandakan data nasabah melalui mesin ATM yang melibatkan alat skimmer.
2. Phising yaitu pengiriman email, link atau SMS palsu yang meminta korban melakukan klik. Ini berbahaya karena ia akan menggandakan data kita. Jangan sembarangan klik, perhatikan alamat url yang dikirimkan dengan teliti.
3. One Time Password (OTP): OTP sangat penting untuk menjaga keamanan transaksi. Jadi berhati-hatilah menggunakannya saat berbelanja atau bertransaksi. Selalu perhatikan kode notifikasi. Sebab, OTP seringkali menyedot dana nasabah melalui sejumlah situs jual beli online atau e-commerce.
4. Vishing (Voice Phising) yaitu bentuk penipuan yang berpura-pura bertindak sebagai pihak bank dan menghubungi korban. Ini perlu hati-hati dan tidak tergiur dengan iming-iming hadiah yang ditawarkan.
5. SIM Swap yaitu jenis kejahatan perbankan dengan cara pencurian data dengan mengambil alih nomor HP untuk mengakses akun perbankan korban.
Menjadi Nasabah Bijak
Setelah mengetahui jenis-jenis kejahatan perbankan, apa yang yang sebaiknya kita lakukan sebagai seorang nasabah? Sebagai nasabah, kita tentu saja, perlu berhati-hati. Identitas kita adalah komoditas kriminal yang sangat berharga, dengan nilai global, dan diinginkan pembeli. Para pencuri identitas biasanya mengincar data perbankan seorang nasabah, seringkali melancarkan aksinya di saat korban sedang lengah.
Saya tidak dapat membayangkan apa yang terjadi ketika data perbankan nasabah dapat dibocorkan semudah membocorkan data pribadi pejabat, seperti yang dilakukan Bjorka. Hacker seperti Bjorka jelas memiliki kemampuan seperti itu, meski ia melakukannya (mungkin saja) demi kesenangan semata. Tapi seperti ditulis James Canton, dalam bukunya The Extreme Future: 10 Tren Utama yang Membentuk Ulang Dunia 20 Tahun ke Depan, bahwa hacking adalah industri kejahatan besar, global, dan terkoordinasi dengan baik yang dijalankan para pemain ahli.
Canton menyebutkan, pencurian identitas sangat mudah dilakukan, dan biasanya pelaku memanfaatkan nomor jaminan keamanan sosial pelanggan, nama ibu, tanggal lahir atau informasi-informasi pribadi lainnya. Karena itu, jangan menganggap remeh kejahatan siber. Ancaman tersebut begitu nyata dan mengintai kita setiap saat. Kita kadang tidak menyadarinya. Apa yang belakangan ini viral di media sosial terkait aksi Bjorka, merupakan ancaman yang serius. Bahwa data kita belumlah aman, dan begitu mudah dibocorkan di dunia maya, bahkan diperjualbelikan di dark web.
Sebagai nasabah bijak, kita tidak menyimpan data penting terkait informasi perbankan, seperti PIN ATM, Nomor Rekening, dan data login mobile banking, di dalam folder email. Tidak mudah tergiur dengan tawaran dan iming-iming undian berhadiah dari pihak yang mengatasnamakan pihak bank.
Kita perlu memeriksa setiap informasi, SMS, dan email yang diterima. Jangan klik link apapun yang dikirimkan melalui email maupun SMS. Pastikan bahwa pengirimnya akun dan nomor resmi dari pihak perbankan. Perbankan seperti BRI, misalnya, memiliki akun yang sudah terverifikasi.
Hal lain yang penting kita lakukan sebagai nasabah adalah mengganti password email secara berkala, terutama jika email tersebut terhubung dengan akun kita di perbankan. Selain itu, mengganti PIN ATM sebulan sekali, sangat dianjurkan. Hal-hal kecil ini akan menjauhkan kita dari kejahatan siber.
Cara lain yang bisa kita lakukan untuk melindungi diri kita dari kejahatan siber adalah bergabung dengan Gerakan #NasabahBijak. Sebagai informasi, #NasabahBijak adalah sebuah wadah komunitas yang bertujuan memberikan literasi keuangan kepada masyarakat Indonesia mengenai bagaimana mengelola uang, melunasi hutang, suku bunga, asuransi, tabungan pensiun, pajak, serta produk keuangan seperti kredit dan pinjaman serta memberikan edukasi tentang bermacam kejahatan siber di sektor perbankan dan bagaimaca cara untuk mencegahnya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa data (terutama data pribadi) memang benar-benar sebagai ‘minyak digital’ dan sumber daya paling berguna di dunia saat ini. Dan, karenanya, data paling rawan dicuri dan diperjualbelikan.[]
Sumber:
1. The Economist, https://www.economist.com/leaders/2017/05/06/the-worlds-most-valuable-resource-is-no-longer-oil-but-data
2. Taufik Al Mubarak, Data, Minyak Era Digital [https://steemit.com/writing/@acehpungo/data-minyak-di-era-digital]
3. James Canton, Ph.D, The Extreme Future: 10 Tren Utama yang Membentuk Ulang Dunia 20 Tahun ke Depan, Alvabet, Januari 2010.